Jakarta - Nama Achmad Hadiat Kismet Hamami, atau yang akrab disapa Met Hamami, merupakan salah satu pilar dalam sejarah industri alat berat Indonesia. Lahir pada 29 Juli 1930, pria yang meninggal dunia pada 29 November 2019 di Rumah Sakit Pondok Indah ini meninggalkan warisan bisnis yang sangat besar. Perjalanan hidupnya adalah sebuah narasi inspiratif tentang transisi dari dunia militer yang penuh disiplin menuju dunia bisnis yang penuh tantangan, dimulai dari titik nol hingga membangun kerajaan bisnis bernama Grup Tiara Marga Trakindo (TMT).
Hamami mengawali karier dengan jejak yang gemilang di dunia militer. Ia menempuh pendidikan tinggi di sejumlah institusi bergengsi, termasuk Koninklijk Instituut voor de Marine dan Air Navigator’s School di Belanda, serta pelatihan penerbangan dan komando di Royal Air Force, Inggris. Prestasinya sebagai pilot jet tempur di Angkatan Laut membawanya menjadi kolonel termuda pada masanya, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Direktur Operasi Departemen Hankam pada 1967. Namun, pada 1970, ia memutuskan untuk pensiun dini karena merasa tidak cocok dengan sistem dan praktik kerja yang ia saksikan.
Keputusan pensiun dini itu menjadi titik balik yang berat. Untuk menyambung hidup, ia rela melakukan berbagai pekerjaan, termasuk mengajar les matematika dan berjualan es lilin di daerah Kwitang, Jakarta. Latar belakang militernya yang jujur dan berintegritas justru menjadi modal berharga. Reputasi inilah yang menarik perhatian Caterpillar, perusahaan alat berat raksasa asal Amerika Serikat, yang sedang mencari mitra distributor baru di Indonesia.
Pada 23 Desember 1970, dengan dukungan Caterpillar, Hamami mendirikan PT Trakindo Utama. Perusahaan ini resmi menjadi distributor tunggal produk Caterpillar di Indonesia pada 13 April 1971, menjadikannya perusahaan swasta nasional pertama yang memegang peran tersebut. Keputusan ini sangat tepat waktu, karena Indonesia sedang memasuki era pembangunan infrastruktur besar-besaran di bawah pemerintahan Orde Baru, yang mendorong permintaan alat berat melonjak.
Dari bisnis distribusi, Hamami membangun ekosistem bisnis yang terintegrasi. Ia mendirikan Jatiluhur Training Center (1971) untuk pelatihan SDM, PT Sanggar Sarana Baja (1977) untuk fabrikasi, dan PT Natra Raya (1982) untuk perakitan alat berat. Ia juga mendirikan PT Chandra Sakti Utama Leasing (1995) untuk pembiayaan alat berat, serta perusahaan di bidang kontraktor pertambangan dan logistik. Bisnisnya pun merambah ke sektor energi, infrastruktur, properti, teknologi informasi, hingga makanan cepat saji.
Tantangan terbesar menghampirinya pada 1999 ketika ia kehilangan penglihatannya akibat glaukoma. Meski demikian, semangatnya tak pernah padam. Ia mulai menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada anak-anaknya: Muki Hamami memimpin Grup TMT, Bani Hamami mengelola PT Trakindo Utama, dan Mia (Mivida) Hamami menjalankan bisnis properti dan ritel. Di bawah kepemimpinan keluarga, bisnisnya terus berkembang dengan lebih dari 50 cabang di seluruh Indonesia.
Pada puncak kariernya, kekayaan Hamami tercatat mencapai US$ 725 juta atau setara Rp 10,1 triliun, yang pernah menempatkannya sebagai orang terkaya ke-10 di Indonesia versi Forbes pada 2011. Meski telah wafat, warisan bisnis dan jiwa wirausahanya tetap hidup. Kisahnya mengajarkan bahwa integritas, visi jangka panjang, dan ketekunan dalam membangun ekosistem yang kuat adalah fondasi utama dari sebuah kesuksesan yang berkelanjutan.